Media Mata Bind, Jakarta - Pengesahan RUU Kejaksaan oleh DPR RI pada Desember 2024 menjadi langkah kontroversial yang memicu kritik keras berbagai pihak. Di saat RUU KUHAP sebagai dasar sistem peradilan pidana belum disahkan, DPR justru memberikan tambahan kewenangan besar kepada Kejaksaan.
Keputusan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah negara sedang membangun sistem hukum yang lebih adil atau justru memperkuat dominasi segelintir aparat?
Direktur INSIGHT, Dede Rosyadi, menilai Kejaksaan kini memiliki kewenangan berlebih dalam penyelidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Ia juga menyoroti Pasal 30B huruf a dinilai terlalu kabur.
"Tidak ada definisi jelas tentang ruang lingkup intelijen penegakan hukum dalam pasal ini. Ini sangat berbahaya karena bisa menjadi celah bagi Kejaksaan untuk masuk ke wilayah penyelidikan yang seharusnya menjadi domain kepolisian," ujar Dede Rosyadi kepada awak media, Sabtu (8/2/25(.
Bahkan, dengan perubahan ini, jaksa tak hanya bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan sendiri, tetapi juga memiliki hak intervensi atas penyelidikan yang dilakukan kepolisian. Mereka bisa menentukan kapan sebuah kasus naik ke penyidikan, kapan harus dilanjutkan, atau bahkan dihentikan.
Lebih dari itu, jaksa kini berwenang menentukan sah atau tidaknya sebuah penangkapan dan penyitaan kewenangan selama ini berada di tangan pengadilan. Dominasi kewenangan ini memunculkan kekhawatiran besar terkait penyalahgunaan hukum untuk kepentingan tertentu.
"Gawat sekali ini, kalau kewenangan sebesar ini diberikan tanpa kontrol ketat, maka hukum bisa menjadi alat politik, bukan alat keadilan," kata Dede.
Apalagi, lanjut Dede, keputusan jaksa untuk melanjutkan atau menghentikan perkara bisa saja dipengaruhi oleh tekanan politik, kepentingan pribadi, atau bahkan transaksi di balik layar.
"Asas Dominus Litis ini bisa menjadi bumerang bagi sistem hukum kita. Jika tidak ada pengawasan ketat, bisa saja hukum justru dimanipulasi untuk melindungi pihak tertentu atau menghantam lawan politik," tegas Dede.
Penerapan Dominus Litis di beberapa negara memang berjalan, tetapi sistem hukum Indonesia memiliki karakteristik berbeda. Jika dipaksakan tanpa mekanisme kontrol yang ketat, maka prinsip ini bisa menjadi alat bagi Kejaksaan untuk bertindak di luar batas kewenangannya.
Diperlukan reformasi hukum yang lebih menyeluruh untuk memastikan keseimbangan kekuasaan dalam sistem peradilan pidana. Judicial review dan peningkatan akuntabilitas menjadi langkah mendesak agar hukum tetap berpihak pada keadilan, bukan pada institusi yang ingin memperluas dominasinya.
Jika tidak ada langkah korektif, supremasi hukum di Indonesia bisa bergeser menjadi supremasi Kejaksaan. Dan ketika itu terjadi, maka prinsip keadilan yang seharusnya menjadi pondasi negara hukum hanya akan menjadi ilusi belaka.
#Hukum #Reformasi #OpiniPublik #Opini #Bekasi
Posting Komentar
MEDIA MATA BIND